Senin, 18 September 2017

Cerita Santri

Praha Cinta di Pondok Pesantren

aaa

Suatu hari disebuah pondok pesantren yang bernama pesantren Darussalam, ada sepenggal kisah romantisme cinta seorang santri. Cinta mereka tertutupi kabut rindu yang tebal.
Dipesantren itu, terbagi menjadi dua pondok, yakni pondok ikhwan (Laki-laki) dan pondok akhwat (Perempuan). Masing-masing bangunannya terpisah utuh. Ada sebuah penyekat tembok antara bangunan pondok ikhwan dan pondok akhwat. Bangunannya pun sengaja dibuat tinggi agar tidak ada yang bisa masuk dan memanjat kedalam pondok akhwat tersebut.
Suatu ketika, seorang Kyai (Pemilik pondok pesantren/sekaligus pengajar santri-santrinya), telah bercita-cita agar ada santrinya yang bisa mengemban dakwahnya ini ke masyarakat luas, sehingga mampu mengharumkan nama pondok pesantrennya itu.
Pak kyai tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang bernama “Nur”. Nur adalah anak perempuan satu-satunya dari pak kyai itu. Nur merupakan anak yang patuh dan taat terhadap kedua orangtuanya itu. Nur juga merupakan anak yang pintar , rajin dan shalehah. Nur sengaja dipondokkan oleh bapaknya ditempat pondok kepunyaanya. Dalam belajar Nur tergolong oreng yang cepat sekali dalam menghafal. Allah anugrahi rupa atau wajahnya yang begitu cantik, ayu dan mempesona. Tak aneh jika semua santri ikhwannya sering bercerita tentang anak kyainya itu.
Suatu hari ada seorang pemuda dari pondok ikhwannya, dia juga cerdas sekali dalam menafsirkan kitab. Dia juga seorang pemuda yang pintar, baik dan shaleh. Sebut saja “Rahmat” panggilannya. Dia adalah pemuda yang mempunyai semangat juang tinggi terhadap islam. Dia selalu terbuka dan rendah diri. Selain itu pula Allah anugrahkan kepadanya suara bacaan Alqur’annya yang begitu merdu dan syahdu, sehingga seluruh temannya menunjuknya sebagai imam di pondok ikhwan tersebut. Dia juga seorang yang amanah terhadap apa yang dipegangnya. Tak heran jika pak kyai begitu suka sekali kepada pemuda tersebut. Pak kyai sangat kagum terhadap kecerdasan ilmu agamanya. Dia muda akan tetapi ilmunya sangat matang sekali dalam syariat Allah. Dengan begitu pak kyai menunjuknya sebagai ketua santri (Lurah). Lurah adalah sebutan para santri kepada ketuanya.
Dilain waktu terdengarlah ketelinga kyai, bahwa Rahmat menaruh perasaan cinta kepada anaknya. Sampai rahmat pernah mengirim surat kepada anaknya, bahwa dia ingin sekali menikahinya. Diusia rahmat yang cukup matang ini, rahmat ingin sekali cepat menikah, agar dia mampu menjaga iffah (kesuciannya). Terdengarlah bahwa anak kyainya itu pun menaruh rasa yang sama kepada Rahmat. Sampai mereka bercita-cita ingin segera melakukan pernikahan.
Terdengarlah berita ini kepada telinga kyai, bahwa anaknya juga mempunyai rasa yang sama kepada Rahmat, ketua santrinya itu. Entah berita ini membuat pak kyai itu senang atau tidak. Dalam keinginannya bahwa dia ingin sekali menikahkan putrinya dengan anak kyai juga. Sehingga dalam prinsipnya pak kyai tetap berkomitmen bahwa putrinya akan dia nikahkan dengan anak kyai dari pondok sebrang sana. Terjadilah prahara duka dalam kisah cintanya. Rahmat yang begitu mencintai putrinya itu, kini hanya terbalas dengan sebuah jawaban yang sungguh getir. Pahit memang, walau bagaimanapun cinta Rahmat terhadap putrinya itu tidak boleh melebihi cintanya kepada Allah. Dalam senandug doa’nya dia selalu berkata “YaRabb, jika seandainya dia adalah jodohku maka dekatkanlah tanpa mengurangi rasa cinta ini kepadaMu, akan tetapi jika seandainya dia itu bukan jodohku, tolong kokohkan cinta ini agar tidak mati dan jemu kepada cintaMu yang hakiki nan abadi, tiada tahu jika seandainya dia jodohku maka itulah takdirku, jika dia bukan pula jodohku maka itu juga takdirku. Hamba ikhlas sepenuh hati ya Rabb”.
Waktu pun berlau sangat cepat, kiranya waktu pernikahan antara putri pak kyai itu dan putra kyai yang disebrang sana akan segera dilaksanakan. Tanpa rasa penolakan terhadap ayahnya itu (pak kyai), Nur dengan sukarela mau menerima keinginan ayahnya untuk menikah dengan anak kyai lain. Nur yang begitu patuh kepada ayahnya, sekaligus hatinya mengingkarinya. Baginya ayahnya itu adalah segalanya dalam kehidupannya.
Cinta mereka tertelan takdir yang begitu mengikat, memaksa keduanya agar tidak bisa bersama. Cinta mereka adalah bukti bahwa saling suka dan saling cinta tak menjamin bahwa mereka adalah jodoh. Cintanya baginya adalah sebuah lamunan yang tak berujung, cinta baginya adalah angan yang tidak bisa digapai, cinta baginya adalah keputusasaan.
Datanglah hari perkawainannya itu , dalam hari kebahagiaanya, Nur sama sekali tidak bisa merasa bahagianya, sekalipun orang tua mereka terlihat begitu bahagia. “Rony adalah calon mempelai prianya. Rony juga merupakan anak yang begitu pintar dan baik. Segeralah akad itu berlangsung, Nur menengok kekiri dan kekanan, melihat sekitar, ternyata tak didapatinya seorang Rahmat. Rahmat sengaja tak menghadiri acara pernikahan putri kyainya itu. Agar sakit yang rahmat rasakan bisa berkurang dan lepas dalam belenggu cintanya yang begitu melekat kepada Nur. Akad pun telah berlangsung keduanya telah sah menjadi suami istri.
Dan sejak saat itu Rahmat semakin menyibukkan diri terhadap ilmu agamnya, agar perasaan yang dulu dia rasakan kepada Nur dapat hilang. Kini rahmat meminta izin kepada Kyainya untuk bisa berdakwah ke masyarakat luas. Dengan rasa berat hati pak kyai, melepaksan murid kesayangannya itu.
Dalam berumah tangga, tentu sepasang suami istri sangat berbunga-bunganya terhadap cinta mereka. Akan tetapi hal ini tidak bisa dirasakkan Nur. Nur diberi nesihat oleh temannya agar bisa mencintai suaminya setulus hati, meskipun tidak ada perasaan samak sekali. Detik, menit, hari, bulan, Nur mulai bisa mencintai suaminya itu. Keduanya kinipun telah saling bisa mencintai satu sama lain. Dalam benak Nur, ternyata Nur tidak pernah puas terhadap kebutuhan biologisnya yang diberikan suaminya(Rony) itu kepada Nur. Sebab suaminya mengidap penyakit impotten (penyakit yang menyerang kelamin). Nur sangat tersiksa, batinnya hancur berkeping-keping, rasanya ingin sekali bisa bercerai dengan suaminya itu. Nur pun memberanikkan diri dan bercerita kepada ayahnya tentang suaminya itu, dan bercerita bahwa suaminya mengidap penyakit tersebut. Deraian tangis ayahnya mengalir deras sambil merangkul dan memeluk anaknya, berkatalah ayahnya : “maafin bapak ini wahai putriku tercinta, seandainya dulu bapak tidak memaksa engkau menikah dengannya, kamu sesungguhnya sudah mempunyai pilihan, tetapi pilihanmu bapak tolak karna keegoan bapak. Kini engkau merasa tersiksa dengan semuanya”. Menangislah mereka berdua dalam pelukan.
Akhirnya ayah Nur menyetujui anaknya untuk segera bercerai dengan suaminya. Dan rony pun dengan lapang dada menerimanya, akhirnya Nur meminta talak kepada suaminya, dengan alasan kurang memenuhi kebutuhan biologisnya. Rony dengan tau segala kekurangannya ikhlas dan ridha terhadap keputusan istrinya itu. Kemudian bercerailah mereka.
Nur dengan hati yang malu ingin sekali kembali lagi dengan cinta pertamanya, ternyata setelah didapati dipondok bahwa Rahmat sudah tidak lagi berada dipondok ini. Diceritakanlah oleh ayahnya bahwa Rahmat sekarang sedang mengemban dakwah di pulau sana. Dan kemungkinan dalam waktu yang lama sekali untuk kembali kesini. Terhitunglah setengah tahun setelah nur menanti kedatangannya ternyata ada sebuah surat undangan pernikahan. Tersampailah ketangan kyainya undangan itu, ternyata undangan itu adalah undanga pernikahan Rahmat dengan seorang perempuan yang dipulau sana. Dengan tangan yang bergetar maka diberikanlah undangan itu kepada putrinya, setelah putrinya membuka, sontak kaget, bahwa laki-laki yang selama ini dia nanti, ternyata akan menikah dengan perempuan lain. Hati Nur serasa teriris, Nur seolah menyalahkan takdir, bahwa Allah tidaklah adil (sambil merobek undangan itu), lalu ayahnya menenangkannya dengan memeluknya, sambil berucap “Ampunilah ayahmu ini putriku”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar